deskripsi gambar
News Update :

Religious and Peace

Religion and Culture

Religion and Conflict

KASUS KERUSUHAN SUNI-SYIAH SAMPANG (Sebab, Aktor, dan Pola Kerusuhan)

Senin, 07 Oktober 2013

KASUS KERUSUHAN SUNI-SYIAH SAMPANG
(Sebab, Aktor, dan Pola Kerusuhan)[1]

A.    Latar Belakang
Indonesia merupakan negara Pancasila yang mengedepankan sifat toleransi, prinsip persaudaraan sesama agama (ukhuwwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaaan (ukhuwwah wathaniyyah) dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyah). Dalam agama Islam, sebagaimana agama yang lainnya, memiliki sejumlah aspek pokok ajaran/doktrin; para penganutnya punya pendekatan dalam memahami pokok ajarannya (doktrin). Pendekatan ini memunculkan perbedaan. Hal itu tentu wajar karena agama hidup dalam ruang sejarah, interpretasi, dinamika keyakinan, dan pengalaman keagamaan, serta cara berpikir. Namun, perbedaan itu bukan tanpa dasar yang autentik dari sudut doktrin. Orientasi kepada yang autentik itu dibangun sebagai sikap dasar dalam menetapkan kebenaran setiap ajaran. oleh karena itu, perbedaan yang autentik ini harus terus diletakkan sebagai sebuah kerangka dasar dalam pengkajian ilmiah agar pengertian, konsepsi pokok, dan relevansi ajaran dapat dilihat sebagai dimensi transenden yang dengannya setiap orang memandang proses pemahaman sebagai sebuah perjalanan eksistensial bertemu dengan kebenaran (Al Haqq/Tuhan). Dalam Islam, dikenal beberapa mazhab/pendekatan yang mungkin banyak memunculkan kontroversi, yaitu Islam Syiah vis a vis Islam Sunni.[2]
Terkait dengan hal tersebut kasus pembakaran rumah dan pengusiran warga Syiah di Sampang, Madura, yang terjadi pada 29 Desem­ber 2011 dan 26 Agustus 2012, membelakkan mata banyak orang. Peristiwa itu begitu mengejut­kan, karena selama ini di berbagai me­dia massa diceritakan, bahwa ulama dan warga Sampang yang mayoritas­nya NU adalah orang-orang Muslim moderat, tidak radikal, anti-kekerasan, dan sebagainya. Gambaran itu tidak keliru. Sebab, memang warga NU atau kaum Muslim yang mayoritasnya ada­lah pengikut Ahlu Sunnah wal-Jamaah, memang cinta perdamaian. Ahlu Sun­nah wal-Jamaah adalah ajaran yang tidak berlebihan dalam agama (ghu­luw).[3]
Konflik Sunni-Syiah adalah sesuatu yang tidak boleh terjadi, seandainya semua pihak memahami dengan baik sejarah masuknya Islam di Indonesia.  Sejarah Syi‘ah di Indonesia sebetulnya adalah sejarah Islam Indonesia itu sendiri. Sejak awal, Islam yang masuk ke Indonesia terdiri dari berbagai mazhab, termasuk Syi‘ah[4]. Terkait dengan hal tersebut dalam makalah ini membahas kasus kerusuhan Suni-Syiah di Sampang dengan memfokuskan bahasan pada sebab kasus ini terjadi, actor-aktor dibalik kerusuhan, dan pola kerusuhan, serta diakhiri dengan sebuah analisis (kendala penanganan konflik dan solusi).




[1]Makalah disampaikan pada Mata Kuliah : Manajemen Konflik.
[2] A. M.Safwan, “Syiah, lslam dan Ke-Indonesiaan”, Makalah, Diskusi Publik Agama, Kekerasan dan Politik penodaan: Membedah Kasus Sunni-syi,ah di Sampang, Gedung UC UGM Yogyakarta, kerjasama CRCS, PSKP, IIS, FD UIN Suka,  Kamis, 27 september 2012, hlm. 1
[3]Adian Husaini, “Belajar dari Kasus Sampang”, dalam, Tabloid Cendekia, Hijrah Moral untuk Kebangkitan Bangsa, edisi, 01 Januari-Februari 2012, hlm. 17-18
[4] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994).

R E C O N Q U I S T A (Penaklukan Kembali Andalusia/Spanyol dari Islam oleh Nasrani)

R E C O N Q U I S T A
(Penaklukan Kembali Andalusia/Spanyol dari Islam oleh Nasrani)[1]


A.    Latar Belakang
Sejarah perang dan sejarah damai telah hampir sama tuanya dengan sejarah kemanusiaan itu sendiri. Sejarah manusia adalah campuran unik dari keberhasilan dan kegagalan, kemenangan dan kekalahan, cinta dan perang. Pembantaian/perang adalah salah satu peristiwa yang telah menyebabkan kematian banyak orang tak berdosa, hal ini kadang dilakukan sebagai sarana pemuas kehausan mereka dalam membalas dendam, untuk ego manusia, serta kadang mengatasnamakan untuk kesucian/Tuhan.[2]
Adalah Al-Andalus (Arab: ุงู„ุฃู†ุฏู„ุณ al-andalus) sebagai nama dari bagian Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal)[3] yang diperintah oleh orang Islam, atau orang Moor, dalam kurun waktu antara tahun 711 – 1492 M.[4] Al-Andalus juga sering disebut Andalusia. Pada masa tempuk kepemimpinan Andalusia dipegang oleh Islam, Andalusia mengalami berbagai kemakmuran[5] dan kemajuan hampir di segala bidang[6]. Pembangunan secara besar-besaran, dalam hal kebebasan berpikir, banyak cendekiawan, ilmuwan, penyair, dan sastrawan lahir disana.[7] Selain hal tersebut proses selanjutnya dari tujuan Islam di Andalusia  merupakan sebagai upaya menentramkan negeri itu dari anarki dan perang-perang saudara.[8]
Namun keadaan yang tentram dan damai ini dalam periode-periode sejarah selanjutnya digoyah dan diporak-porandakan dengan datangnya tentara/pasukan Nasrani yang mencoba mengambil alih Andalusia/Spanyol.  Dan berdasarkan latar belakang tersebut pulalah dalam makalah ini membahas “Reconquista” (Penaklukan Kembali Andalusia/Spanyol dari Islam oleh Nasrani), yang lebih spesifik lagi terangkum dalam rumusan masalah di bawah ini.




[1] Makalah disampaikan pada mata kuliah : Sejarah Konflik dan Perdamaian Agama-agama
[2] Jika kita membaca baik-baik sejarah umat manusia, sukar bagi kita untuk mengambil kesimpulan, apakahkeadaan normal itu adalahperdamaian dengan perang sebagai selingan dari keadaan damai itu, ataukah keadaan normal itu adalahperang dengan keadaan damai sebagai selingan dari peperangan. Perang dan damai merupakan suatu kenyataan riil yang tidak dapat dibantah atau dihindari, dan merupakan suatu fakta berganda yang terjadi silih berganti dan berlangsung secara terus menerus dalam suatu continuum, sehingga menimbulkan adagium yang bersifat paradox yang berbunyi: Si Vis Pacem Para Bellum, yang berarti siapa yang ingin damai, bersiaplah untuk perang. Oleh karena itulah, sambil melanjutkan usaha untuk hidup sejahtera dalam suasana damai, pimpinan suatu bangsa dan negara harus mempersiapkan diri secara terus menerus menghadapi kekerasan yang potensial akan dilancarkan oleh bangsa dan negara lain, karena hampir dapat dipastikan dalam damai ada bibit perang, sedangkan perang cepat atau lambat akan atau harus diakhiri dengan perdamaian. Disarikan dari, https://serbasejarah.wordpress.com/2011/03/24/si-vis-pacem-para-bellum/ (22/03/2012)
[3] Dalam keterangan lain diterangkan bahwa, Andalusia di utara dibatasi oleh Extremadura dan Castilla-La Mancha; di sebelah timur oleh Murcia dan Laut Mediterania; di sebelah barat oleh Portugal dan Samudra Atlantik (barat daya); di selatan oleh Laut Mediterania (tenggara) dan Samudra Atlantik (barat daya) terhubungkan oleh Selat Gibraltar di ujung selatan yang memisahkanSpanyol dari Maroko. Juga di selatan ia berbatasan dengan Gibraltar, koloni Britania Raya. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Andalusia(22/03/2012)
[5] Musyirifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 119-120
[6] Joeseoef Souyb, Sejarah Daulah Umayah di Cardova, jilid II (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm 143
[7] Muhammad Ali Quthub, Mazaabih wa Jarooim Mahakim At-Taffisy Fil Andalus, terj. Musthafa Mahdamy, Fakta Pembantaian Muslim di Andalus, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1990), hlm. 26
[8] Syed Mahmuddunasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya,terj. Adang Afandi, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1993), hlm. 286-287

Kematangan Beragama (Mature Religion)

Kematangan Beragama
(Mature Religion)[1]


Abstract

“Manusia adalah mahluk dinamis, secara umum manusia melalui dua proses perkembangan yakni jasmani (fisik) dan rohani (spiritual), dimana perkembangan jasmani dapat diukur berdasarkan usia sebagai proses dimana puncak perkembangannya dinamakan “dewasa”, sedangkan perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas) dimana puncak perkembangannya disebut “kematangan” (maturity)”. kematangan beragama (mature religion) dapat dilihat dengan mengkategorikan model keberagamaan mulai dari anak-anak, remaja, dan matang dimana dalam keagamaan matang dicirikan dengan sikap krits, kreatif, dan otonom, namun keagamaan matang juga tidaklah berarti bebas dari ketergantungan sama sekali dan tidak juga berarti bahwa pandangan keagamaan kritis otomatis matang, namun refleksi dan kepercayaan diri pada seorang yang beragama matang telah ditemukan dalam ekspresi kehidupan beragamanya. Seorang yang beragama matang memperluas perhatiannya terhadap hal-hal di luar dirinya, di mana indikasi terabsahnya adalah doa. Doa seseorang menjadi kriteria penting apakah seseorang beragama matang atau sebaliknya, Keagamaan matang tidak puas semata-mata dengan rutinitas ritual dan verbalisasinya

Keyword : Kematangan beragama, keagamaan matang, keberagamaan matang mature religion
A.     Pendahuluan
Ajaran agama mengandung nilai moral dan perilaku yang melahirkan konsekuensi pada pemeluknya untuk mengamalkan nilai moral tersebut ke dalam perilaku keseharian. Namun tidak semua individu dapat melakukannya. Hanya individu yang memiliki kematangan beragamalah yang berpeluang untuk mewujudkannya. Salah satu ciri pribadi yang matang dalam kehidupan beragama ditandai dengan dimilikinya konsistensi antara nilai moral agama yang tertanam dalam diri individu dengan perilaku keseharian yang dimunculkan. Dalam bahasa yang sederhana dapat diungkapkan bahwa apabila individu matang dalam kehidupan beragamanya, maka individu tersebut akan konsisten dengan ajaran agamanya. Konsistensi ini akan membawa individu untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya. Lebih jauh, melalui kematangan dalam kehidupan beragama individu akan mampu untuk mengintegrasikan atau menyatukan ajaran agama dalam seluruh aspek kehidupan. Secara khusus, keberagamaan yang matang akan lebih mendorong seseorang/umat untuk berperilaku positif sesuai dengan ajaran agama dalam setiap sisi kehidupan.
Namun, orang dewasa yang berumur 45 tahun belum tentu memiliki kriteria keberagamaan yang matang, bahkan bisa jadi kepribadiannya masih immature atau tidak matang. Oleh karenanya, usia kronologis seseorang atau perkembangan jasmaninya belum tentu seiring-sejalan dengan perkembangan kepribadiannya (atau rohani) yang matang. Tidak sedikit orang yang sudah mencapai usia di atas 25 tahun, yang berarti telah dewasa menurut ukuran kronologis namun kehidupan keberagamaannya masih belum matang. Mereka masih beragama seperti anak-anak misalnya. Tidak sedikit pula remaja yang baru berusia 23 tahun ke bawah tetapi telah menunjukkan keberagamaan yang matang. [2]
Berdasarkan  hal tersebut dalam makalah ini dibahas beberapa hal pokok terkait kematangan beragama (mature religion), diantaranya adalah model/type keberagamaan mulai dari anak, remaja, dan matang, pandangan para tokoh terkait kematangan beragama (mature religion), serta beberapa pertanyaan terkait kematangan beragama. Pembahasan/isi dalam makalah ini sebagian besar disarikan dari buku Walter H. Clark, The Psychology of Religion: An Introduction to Religious and Behavior, bab: Mature Religion, kecuali beberapa penjelasan dikutip dari sumber lain sebagaimana dapat dilihat dari catatan kaki (footnote)-nya.

Selengkapnya dapat diakses di : In Progres...




[1] Makalah disampaiakan pada mata kuliah : Psikologi Agama dan Resolusi Konflik
[2] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995), hlm. 37.

The Political Structure of Multicultural Society (Struktur Politik Masyarakat Multikultural)

The Political Structure of Multicultural Society
(Struktur Politik Masyarakat Multikultural)



Wahai manusia sesungguhnya Aku ciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan, dan Aku jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa
agar kalian saling kenal. Sesungguhnya manusia yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa” (QS: 49:13)

I.  Latar Belakang
Pandangan mengenai multikulturalisme, sebagai suatu paham yang bergerak untuk memenuhi dan menerima segenap perbedaan yang ada pada setiap individu manusia, bila tidak dikemas dengan cara yang tepat semisal dalam ranah pendidikan dan penyadaran, akan memiliki potensi cukup besar bagi terjadinya konflik antar kelompok. Prinsip keagamaan dimasing-masing kelompok misalnya, akan mudah menimbulkan “percikan-percikan” konflik antar kelompok yang ada lantaran adanya beberapa perbedaan yang cukup prinsipil dari masing-masing kelompok itu. Bahkan dalam sekala lebih luas, manifestasi dari prinsip multikulturalisme itu bisa merambah hingga perbedaan wilayah geografis, etnis, budaya, bahasa, agama, keyakinan, pola pikir maupun perbedaan kemampuan (diffable)-secara fisik maupun psikhis. Perbedaan itulah yang sekirannya tidak segera diatasi/diantisipasi akan menjadi pemicu konflik. Dan tidak jarang konflik itu akan memicu pada kekerasan fisik, bahkan hingga terjadi pertumpahan darah.[1]
Terkait dengan hal tersebut, sebuah masyarakat multikultur pasti akan menghadapi dua tuntutan yang saling bertentangan dan perlu menemukan sebuah struktur politik yang memungkinkan masyarakat untuk mendamaikan diri dengan cara yang adil dan dapat diterima bersama. Struktur politik tersebut harus bisa memupuk rasa persatuan yang kuat dan kebersamaan diantara warganya.
Juga sebaliknya, strukrur politik tidak boleh berlaku seperti sebuah persatuan komunitas yang dapat mengambil alih dan menjalankan keputusan yang secara kolektif mengikat, mengatur serta melakukan resolusi konflik. Paradoks seperti yang tampak, semakin besar dan semakin dalam keanekaragaman dalam sebuah masyarakat, maka semakin besar pula kesatuan dan kohesi yang dibutuhkan untuk menyatukan mereka dan mempertahankan, keanekaragaman tersebut. Suatu masyarakat yang lemah merasa terancam oleh perbedaan perbedaan dan kehilangan kepercayaan dan keinginan untuk menerima dan hidup bersama.[2]Berdasarkan latar belakang  tersebut, dalam makalah ini akan mengkaji bagaimana struktur politik masyarakat multikultural, terkait dengan sejarah serta konteks yang ada saat ini.

Selengkapnya dapat diakses di : In Progress...




[1]M. Ainul Yakin, Pendidikan Multikultural; Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta : Pilar Media, 2005), hlm. 5
[2] Bhikhu Parekh, Rethingking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik, (Yogyakarta: Kanisius, 2008).  hlm. 263

Truth and Reconciliation

Truth and Reconciliation[1]

Mereka yang tidak peduli dengan masa lalu,
dihukum untuk mengulanginya
(Santayana)[2]

I.    Pendahuluan
Kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya perlindungan hak-hak asasi manusia HAM sangat meningkat dalam tempo lebih dari sepuluh tahun terakhir ini.[3]Dari selatan Afrika ke Uni Soviet, hingga ke Amerika Latin dan tempat-tempat lain di dunia, suatu arus perubahan global telah meninggalkan otokrasi-otokrasi politik dan mengisolasinya bagaikan para pelaut yang berada pada bagian bawah dari gelombang air pasang. Semenjak tahun 1989, sejumlah besar negara di berbagai belahan dunia dan benua, telah melaksanakan reformasi, dan bergerak ke arah kategori kemunculan dan kemunculan kembali demokrasi, dan memproklamirkan dukungan terhadap HAM internasional dengan tulus.[4]
Pada tahun 1989 misalnya, Komite Helsinki di Polandia telah mengumumkan  bahwa isu-isu yang berkaitan dengan ideologi akan dikeluarkan dari kurikulum sekolah-sekolah, dan digantikan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Universal Declaration of Human Rights. Di antara rezim-rezim baru yang terlibat dalam pembangunan institusi dan konstruksi demokrasi, banyak yang berpandangan bahwa pendidikan HAM merupakan sarana penangkal yang tepat untuk mencegah kambuhnya kembali kecenderungan pelanggaran HAM. Tiga puluh lima negara yang menandatangani Persetujuan Helsinki pada tahun 1975 misalnya, telah menyatakan niat mereka agar pada dekade terakhir dari abad ke-20, sekolah- sekolah dan institusi- institusi pendidikan didorong untuk mempertimbangkan penyebarluasan nilai-nilai HAM dan kebebasan-kebebasan fundamental dalam kurikulumnya.[5]
Memang periode transisi demokrasi, dari rezim otoriter ke demokratis, seharusnya diisi oleh pemerintahan baru dengan beragam langkah dan tindakan, dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus kejahatan hak asasi manusia, yang terjadi ketika pemerintahan otoriter berkuasa. Proses ini penting dilakukan, guna meminimalisir ‘ganjalan sejarah’, yang bisa menjadi hambatan dalam perjalanan bangsa ke depan. Bila permasalahan dimasa yang lalu tidak segera dicarikan solusi dan mekanisme penyelesainnya, dikhawatirkan segregasi sosial di masyarakat, akibat stigmatisasi warisan rezim otoriter, menjadi terus berkepanjangan, yang sewaktu-waktu bisa menjadi sumber potensi konflik horisontal, dikelak kemudian hari.
Mengingat begitu banyaknya kasus pelanggaran HAM di masa lalu, dan mewariskan bermacam stigma dan predikat bagi para korbannya, tanpa ada kejelasan kapan semua itu akan diakhiri. Selain itu, jika masa lalu tidak diselesaikan, bangsa juga tak akan pernah belajar, dari kesalahan yang pernah diperbuatnya saat lampau, untuk kemudian berupaya tidak mengulanginya kembali di masa yang akan datang. Masa lalu akan terus menjadi hutang sejarah tak terbayar, jika penyelesaian tak diwujudkan. [6]
Berkaitan dengan fenomena tersebut, salah satu perkembangan terakhir dalam membangun perdamaian dan resolusi konflik adalah pengenalan fenomena “kebenaran” dan "rekonsiliasi," hal ini terutama berkaitan dengan konflik yang bersifat etnoreligius. Konflik tersebut biasanya terjadi antara musuh dengan geografis yang berdekatan satu sama lain, dan ini tidak lagi hanya masalah dari "nyali dan darah" juga tentara profesional. Jutaan orang terlantar dan banyak anak menjadi yatim piatu. Pertemuan etnoreligius sering didasarkan pada masalah identitas yang sering dimanifestasikan dalam hal stereotip misal, ketakutan, kebencian, dan lebih sering dinyatakan sebagai penyebab konflik tak terdamaikan karena adanya kepentingan tertentu.
Diplomasi dan perdamaian skala besar tidak lagi cukup, pencarian untuk rekonsiliasi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pembangunan perdamaian. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi baru-baru ini menjamur di seluruh dunia dan lebih khusus di Amerika Latin dan Afrika Selatan. [7]
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dalam makalah ini membahas gagasan dasar tentang “kebenaran” dan “rekonsiliasi” berikut implikasinya yang ditawarkan melalui pengoperasian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.



[1] Makalah disampaikan pada mata kuliah : Studi Agama dan Resolusi Konflik
[2] Dikutip dari : Briefing paper,  Apakah ‘Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi’ Itu ?, (Jakarta: Elsam, 2000), hlm. 1
[3] Ketika dunia komunis mulai mengalami keruntuhan pada akhir tahun 1980-an, dan periode pasca Perang Dingin dimulai, negara-negara demokratis baru, beberapa di antaranya dengan sejarah demokrasi yang mengalami pasang-surut, yang lain-lain diperintah oleh para tiran, dan beberapa di antaranya menikmati janji-janji-janji untuk hidup sebagai suatu negara yang baru merdeka, memandang kepada negara-negara demokrasi, Lihat Neil J. Kritz, ed., Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, Volume II: Country Studies (Washington, D.C : United States Institute of Peace Press, 1995), hal. xxv.
[4] Richard Pierre Claude dan Burns H. Weston, eds. Human Rights in the World Community (Philadelphia : University of Pennsylvania Press, 1992), hal. ix.
[5] Dikutip dari paper, Satya Arinanto, “Negara Orde Baru dan Hak-hak Rakyat,” Hukum dan Pembangunan, (Denpasar : 1997), hal. 6.
[6] Lihat dalam Seri Briefing Paper Elsam, Mendorong Pembentukan Kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pandangan ELSAM Mengenai Pentingnya RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, (Jakart : Elsam, 2000), hlm. 2
[7] Diantara negara-negara yang telah menggunakan rekonsiliasi adalah sebagai berikut : Chili (1978), BraziI (1979), Uruguay (1985), Argentina (1983-1986, 1,987, 1989), Guatemala (1985), Honduras (1'987), El Salvador (1987,1983), Peru (1995) , dan juga Afrika Selatan. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan telah menarik perhatian peacebuildersdan ulama di banyak tempat. Lihat. H. Russel Botman, Truth and Reconciliation : The South Africa Case dalam, Harold Coward and Gordon S. Smith (ed.,) Religion and Peacebuilding, (Albany : State University of New York Press, 2004), hlm. 243

THE BATTLEGROUND FOR FAITH

THE BATTLEGROUND FOR FAITH

A.       Pendahuluan

Semua agama mengajarkan kepada para pemeluknya untuk hidup dalam kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan, baik didalam dunia maupun di akhirat. Bahkan agama muncul, baik secara theologis maupun sosiologis adalah guna menyantuni dan menyelamatkan anak manusia; menuju jalan-jalan kedamaian dan keselamatan, menghilangkan ketidakpastian dan mendatangkan ketentraman; mengajarkan kasih sayang diantara sesama manusia, mahluk lain dan lingkungan hidupnya; menyucikan diri dari perbuatan-perbuatan buruk, tercela atau merusak dan sebagainya.[1]
Selain itu  kehadiran agama selain berfungsi sebagai faktor integrativ, juga sering menjadi factor penyebab terjadinya konflik, perpecahan dan bahkan dalam bentuk peperangan (atas nama keimanan), baik dikalangan interen pemeluk agama, maupun antar agama. Isi-isu keagamaan kadang menjadi salah satu pemicu perang, keyakinan agama sering menimbulkan sikap tidak toleran dan loyalitas agama biasanya hanya menyatukan beberapa orang tertentu dan memisahkan yang lainnya.[2] Potensi untuk berkembangnya konflik keagamaan tersebut, lebih sering terjadi terutama adalah pada suatu masyarakat atau negara yang penduduknya menganut agama yang beragam.
            Perbedaan agama telah menyulut beberapa konflik bahkan peperangan antaragama yang paling brutal dalam sejarah manusia. Seringkali perbedaan-perbedaan kecil dalam hal ajaran agama melepaskan kuda-kuda perang dan membenarkan pembantaian manusia secara masal, yang ironisnya atas nama Tuhan dan panggilan suci agama.[3]Disini agama dibangun dengan memahami kitab suci secara tekstual dan parsial untuk mengklaim Tuhan dan kebenaran “hanya ada” di pihak sendiri, dan juga untuk melegitimasi tindakan kekerasan dan perang atas nama Tuhan.
Bahkan sampai perkembangan yang terjadi dewasa ini masih banyak para kaum beragama masih saling memandang dalam sorot mata bermusuhan, teror, dan perang. Ketika banyak peperangan yang justru dikobarkan oleh “api jahat” agama. Pada saat banyak jiwa manusia melayang justru untuk memuliakan Tuhan. Dan manakala Tuhan diagungkan dan dibela mati-matian dengan darah suci banyak manusia. Maka memang benar lebih baik hidup ini tanpa agama, yang penting manusia merasa nyaman, damai, harmonis, dan aman.
Fenomena “tidak masuk di akal demikian”[4]demikian bukanlah omong kosong. Sejarah memang telah membuktikan bahwa agama pernah menjadi penyebab pertumpahan darah dan kekerasan sesama penyembah Tuhan. Terjadinya  fitnah al-kubro dalam Islam, perang Salib, perang antara Protestan dan Katolik selama 30 tahun di Eropa, perang agama selama satu abad di Eropa, [5]merupakan bukti-bukti empirik bagaimana agama menjadi motivasi semuanya. Umat beragama menjadi begitu beringas dan radikal terhadap yang lain (others),[6]nilai-nilai kemanusiaan, persaudaraan, dan, keadilan tertimbun rapat di balik lembaran-lembaran kitab suci masing-masing dan seperti tak terbaca serta “terhapus” darinya.
Jika nilai-nilai keagamaan dan simbolisme merupakan senjata potensial (sama pentingnya untuk memahami konflik) maka pasti sumber-sumber rekonsiliasi harus juga berasal dari analisis yang lebih kreatif atas kekayaan kultural keagamaan, masyarakatbyang terlibat dalam konflik itu sendiri. Dengan demikian jelas, bahwa unsur agama yang terabaikan tentang konflik berjangka panjang, dan berurat berakar adalah ideology keagamaan (dengan serangkaian lambing dan tanda budaya) yang digunakan oleh para pemimpin untuk mendorong para pengikutnya untuk mau mengorbankan hidup dan harta mereka untuk peperangan.[7]Berdasarkan hal tersebut bagaimanakah tindakan-tindakan kekerasan, teror, melukai, bahkan membunuh yang mengatas-namakan, keimanan/agama/Tuhan itu dibenarkan? Dan bagaimanakah solusi yang harus digunakan dalam menghadapi fenomena tersebut?

Selengkapnya dapat dilihat di : In Progress...




[1] Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari fundamentalisme, Moderenisme hingga Post-Moderenisme, (Jakarta: Paramadina/PT.Temprint, 1996), hlm. 182 dikuti dari, Perspektif Islam dan Kedamaian, lihat Sayyid Qutb, al-Salam al-Alami wa al-Islam, Kairo, t.t.
[2] Thomas F. O’deo, Sosiologi Agama, (Jakarta : C.V. Rajawali, 1985), hlm. 139
[3] Rodney Stark, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terj. M. Sadat Ismail (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), hlm. 169.
[4] Kenyataan ini oleh Jose Cassanova disebut dengan “janus face” agama; wajah ganda agama. Agama terbukti menjadi kekuatan pejuangan kemanusiaan dan kedamaian yang paling gigih, namun di sisi lain ia juga tidak jarang menjadi penyebab konflik yang paling ampuh bahkan mengobarkan peperangan antara sesame manusia. Tidak hanya dengan yang berbeda agama, fenomena wajah ganda itu juga terjadi di dalam intra umat beragama itu sendiri, Jose Casanova, “Public Religions Revisited,” dalam Hent de Varies (ed.), Religion: Beyond the Concept (New York: Fordham Universiti Press, 2008), hal. 101-102. Ia menambahkan, “To be sure, there is very little evidence of any kind of religious. But religion has certainly returned as a contentious issue to the public sphare of European societies.” Untuk karya lamanya yang berpengaruh, lihat, Jose Casanova, Public Religions in the Moderen World(Chicago: University of Chicago Press, 1994)
[5] Lihat, Karen Amstrong, The Battle for God: A History of Fundamentalism (New York: Alfred A. Knoft, 2001).
[6] Yang lain (others) di sini bentuknya bisa agama lain yang berbeda, pemahaman keagamaan yang berbeda, atau bisa fenomena social yang dianggap diri sendiri sebagai penyimpangan dan pengingkaran atas teks-teks Tuhan dalam Kitab Suci Agama. Fenomena amar ma’ruf nahi munkar versi FPI misalnya, pengeboman Gedung Federal Alfred P. Murrah di Okalahoma City yang menewaskan 168 korban, ekstrimis anti-aborsi Kristen yang membunuh para fisikawan dan perawat di fasilitas aborsi di Amerika; semuanya terinspirasi oleh teks-teks suci agama sebagai panggilan suci dengan pemahaman keagamaan yang tekstual. Lihat, Charles Selengut, Sacred Fury: Understanding Religious Violence (new York: Rowman & Littlefield Publisher, Inc, 2003), hlm. 5.
[7] Daniel L. Smith-Christoper (ed.,), Lebih tajam dari pedang; Refleksi Agama-agama tentang Paradoks Kekerasan. (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 18 terj. A. Widyamartaya dalam, Daniel L. Smith (ed.,) Subverting Hartred: The Challenge of Nonviolence in Religious Tradotions, Orbit Book, Maryknoll, Newyork, 1998.

Entri Populer

Religion and War

 

© Copyright Ceiist 2012 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Modified by Haris Media .