“Mereka yang tidak peduli dengan masa lalu,
dihukum untuk mengulanginya”
(Santayana)[2]
I. Pendahuluan
Kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya perlindungan hak-hak asasi manusia HAM sangat meningkat dalam tempo lebih dari sepuluh tahun terakhir ini.[3]Dari selatan Afrika ke Uni Soviet, hingga ke Amerika Latin dan tempat-tempat lain di dunia, suatu arus perubahan global telah meninggalkan otokrasi-otokrasi politik dan mengisolasinya bagaikan para pelaut yang berada pada bagian bawah dari gelombang air pasang. Semenjak tahun 1989, sejumlah besar negara di berbagai belahan dunia dan benua, telah melaksanakan reformasi, dan bergerak ke arah kategori kemunculan dan kemunculan kembali demokrasi, dan memproklamirkan dukungan terhadap HAM internasional dengan tulus.[4]
Pada tahun 1989 misalnya, Komite Helsinki di Polandia telah mengumumkan bahwa isu-isu yang berkaitan dengan ideologi akan dikeluarkan dari kurikulum sekolah-sekolah, dan digantikan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Universal Declaration of Human Rights. Di antara rezim-rezim baru yang terlibat dalam pembangunan institusi dan konstruksi demokrasi, banyak yang berpandangan bahwa pendidikan HAM merupakan sarana penangkal yang tepat untuk mencegah kambuhnya kembali kecenderungan pelanggaran HAM. Tiga puluh lima negara yang menandatangani Persetujuan Helsinki pada tahun 1975 misalnya, telah menyatakan niat mereka agar pada dekade terakhir dari abad ke-20, sekolah- sekolah dan institusi- institusi pendidikan didorong untuk mempertimbangkan penyebarluasan nilai-nilai HAM dan kebebasan-kebebasan fundamental dalam kurikulumnya.[5]
Memang periode transisi demokrasi, dari rezim otoriter ke demokratis, seharusnya diisi oleh pemerintahan baru dengan beragam langkah dan tindakan, dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus kejahatan hak asasi manusia, yang terjadi ketika pemerintahan otoriter berkuasa. Proses ini penting dilakukan, guna meminimalisir ‘ganjalan sejarah’, yang bisa menjadi hambatan dalam perjalanan bangsa ke depan. Bila permasalahan dimasa yang lalu tidak segera dicarikan solusi dan mekanisme penyelesainnya, dikhawatirkan segregasi sosial di masyarakat, akibat stigmatisasi warisan rezim otoriter, menjadi terus berkepanjangan, yang sewaktu-waktu bisa menjadi sumber potensi konflik horisontal, dikelak kemudian hari.
Mengingat begitu banyaknya kasus pelanggaran HAM di masa lalu, dan mewariskan bermacam stigma dan predikat bagi para korbannya, tanpa ada kejelasan kapan semua itu akan diakhiri. Selain itu, jika masa lalu tidak diselesaikan, bangsa juga tak akan pernah belajar, dari kesalahan yang pernah diperbuatnya saat lampau, untuk kemudian berupaya tidak mengulanginya kembali di masa yang akan datang. Masa lalu akan terus menjadi hutang sejarah tak terbayar, jika penyelesaian tak diwujudkan. [6]
Berkaitan dengan fenomena tersebut, salah satu perkembangan terakhir dalam membangun perdamaian dan resolusi konflik adalah pengenalan fenomena “kebenaran” dan "rekonsiliasi," hal ini terutama berkaitan dengan konflik yang bersifat etnoreligius. Konflik tersebut biasanya terjadi antara musuh dengan geografis yang berdekatan satu sama lain, dan ini tidak lagi hanya masalah dari "nyali dan darah" juga tentara profesional. Jutaan orang terlantar dan banyak anak menjadi yatim piatu. Pertemuan etnoreligius sering didasarkan pada masalah identitas yang sering dimanifestasikan dalam hal stereotip misal, ketakutan, kebencian, dan lebih sering dinyatakan sebagai penyebab konflik tak terdamaikan karena adanya kepentingan tertentu.
Diplomasi dan perdamaian skala besar tidak lagi cukup, pencarian untuk rekonsiliasi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pembangunan perdamaian. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi baru-baru ini menjamur di seluruh dunia dan lebih khusus di Amerika Latin dan Afrika Selatan. [7]
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dalam makalah ini membahas gagasan dasar tentang “kebenaran” dan “rekonsiliasi” berikut implikasinya yang ditawarkan melalui pengoperasian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
[1] Makalah disampaikan pada mata kuliah : Studi Agama dan Resolusi Konflik
[2] Dikutip dari : Briefing paper, Apakah ‘Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi’ Itu ?, (Jakarta: Elsam, 2000), hlm. 1
[3] Ketika dunia komunis mulai mengalami keruntuhan pada akhir tahun 1980-an, dan periode pasca Perang Dingin dimulai, negara-negara demokratis baru, beberapa di antaranya dengan sejarah demokrasi yang mengalami pasang-surut, yang lain-lain diperintah oleh para tiran, dan beberapa di antaranya menikmati janji-janji-janji untuk hidup sebagai suatu negara yang baru merdeka, memandang kepada negara-negara demokrasi, Lihat Neil J. Kritz, ed., Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, Volume II: Country Studies (Washington, D.C : United States Institute of Peace Press, 1995), hal. xxv.
[4] Richard Pierre Claude dan Burns H. Weston, eds. Human Rights in the World Community (Philadelphia : University of Pennsylvania Press, 1992), hal. ix.
[5] Dikutip dari paper, Satya Arinanto, “Negara Orde Baru dan Hak-hak Rakyat,” Hukum dan Pembangunan, (Denpasar : 1997), hal. 6.
[6] Lihat dalam Seri Briefing Paper Elsam, Mendorong Pembentukan Kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pandangan ELSAM Mengenai Pentingnya RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, (Jakart : Elsam, 2000), hlm. 2
[7] Diantara negara-negara yang telah menggunakan rekonsiliasi adalah sebagai berikut : Chili (1978), BraziI (1979), Uruguay (1985), Argentina (1983-1986, 1,987, 1989), Guatemala (1985), Honduras (1'987), El Salvador (1987,1983), Peru (1995) , dan juga Afrika Selatan. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan telah menarik perhatian peacebuildersdan ulama di banyak tempat. Lihat. H. Russel Botman, Truth and Reconciliation : The South Africa Case dalam, Harold Coward and Gordon S. Smith (ed.,) Religion and Peacebuilding, (Albany : State University of New York Press, 2004), hlm. 243
0 komentar :
Posting Komentar