deskripsi gambar
News Update :

THE BATTLEGROUND FOR FAITH

Senin, 07 Oktober 2013

THE BATTLEGROUND FOR FAITH

A.       Pendahuluan

Semua agama mengajarkan kepada para pemeluknya untuk hidup dalam kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan, baik didalam dunia maupun di akhirat. Bahkan agama muncul, baik secara theologis maupun sosiologis adalah guna menyantuni dan menyelamatkan anak manusia; menuju jalan-jalan kedamaian dan keselamatan, menghilangkan ketidakpastian dan mendatangkan ketentraman; mengajarkan kasih sayang diantara sesama manusia, mahluk lain dan lingkungan hidupnya; menyucikan diri dari perbuatan-perbuatan buruk, tercela atau merusak dan sebagainya.[1]
Selain itu  kehadiran agama selain berfungsi sebagai faktor integrativ, juga sering menjadi factor penyebab terjadinya konflik, perpecahan dan bahkan dalam bentuk peperangan (atas nama keimanan), baik dikalangan interen pemeluk agama, maupun antar agama. Isi-isu keagamaan kadang menjadi salah satu pemicu perang, keyakinan agama sering menimbulkan sikap tidak toleran dan loyalitas agama biasanya hanya menyatukan beberapa orang tertentu dan memisahkan yang lainnya.[2] Potensi untuk berkembangnya konflik keagamaan tersebut, lebih sering terjadi terutama adalah pada suatu masyarakat atau negara yang penduduknya menganut agama yang beragam.
            Perbedaan agama telah menyulut beberapa konflik bahkan peperangan antaragama yang paling brutal dalam sejarah manusia. Seringkali perbedaan-perbedaan kecil dalam hal ajaran agama melepaskan kuda-kuda perang dan membenarkan pembantaian manusia secara masal, yang ironisnya atas nama Tuhan dan panggilan suci agama.[3]Disini agama dibangun dengan memahami kitab suci secara tekstual dan parsial untuk mengklaim Tuhan dan kebenaran “hanya ada” di pihak sendiri, dan juga untuk melegitimasi tindakan kekerasan dan perang atas nama Tuhan.
Bahkan sampai perkembangan yang terjadi dewasa ini masih banyak para kaum beragama masih saling memandang dalam sorot mata bermusuhan, teror, dan perang. Ketika banyak peperangan yang justru dikobarkan oleh “api jahat” agama. Pada saat banyak jiwa manusia melayang justru untuk memuliakan Tuhan. Dan manakala Tuhan diagungkan dan dibela mati-matian dengan darah suci banyak manusia. Maka memang benar lebih baik hidup ini tanpa agama, yang penting manusia merasa nyaman, damai, harmonis, dan aman.
Fenomena “tidak masuk di akal demikian”[4]demikian bukanlah omong kosong. Sejarah memang telah membuktikan bahwa agama pernah menjadi penyebab pertumpahan darah dan kekerasan sesama penyembah Tuhan. Terjadinya  fitnah al-kubro dalam Islam, perang Salib, perang antara Protestan dan Katolik selama 30 tahun di Eropa, perang agama selama satu abad di Eropa, [5]merupakan bukti-bukti empirik bagaimana agama menjadi motivasi semuanya. Umat beragama menjadi begitu beringas dan radikal terhadap yang lain (others),[6]nilai-nilai kemanusiaan, persaudaraan, dan, keadilan tertimbun rapat di balik lembaran-lembaran kitab suci masing-masing dan seperti tak terbaca serta “terhapus” darinya.
Jika nilai-nilai keagamaan dan simbolisme merupakan senjata potensial (sama pentingnya untuk memahami konflik) maka pasti sumber-sumber rekonsiliasi harus juga berasal dari analisis yang lebih kreatif atas kekayaan kultural keagamaan, masyarakatbyang terlibat dalam konflik itu sendiri. Dengan demikian jelas, bahwa unsur agama yang terabaikan tentang konflik berjangka panjang, dan berurat berakar adalah ideology keagamaan (dengan serangkaian lambing dan tanda budaya) yang digunakan oleh para pemimpin untuk mendorong para pengikutnya untuk mau mengorbankan hidup dan harta mereka untuk peperangan.[7]Berdasarkan hal tersebut bagaimanakah tindakan-tindakan kekerasan, teror, melukai, bahkan membunuh yang mengatas-namakan, keimanan/agama/Tuhan itu dibenarkan? Dan bagaimanakah solusi yang harus digunakan dalam menghadapi fenomena tersebut?

Selengkapnya dapat dilihat di : In Progress...




[1] Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari fundamentalisme, Moderenisme hingga Post-Moderenisme, (Jakarta: Paramadina/PT.Temprint, 1996), hlm. 182 dikuti dari, Perspektif Islam dan Kedamaian, lihat Sayyid Qutb, al-Salam al-Alami wa al-Islam, Kairo, t.t.
[2] Thomas F. O’deo, Sosiologi Agama, (Jakarta : C.V. Rajawali, 1985), hlm. 139
[3] Rodney Stark, One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terj. M. Sadat Ismail (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), hlm. 169.
[4] Kenyataan ini oleh Jose Cassanova disebut dengan “janus face” agama; wajah ganda agama. Agama terbukti menjadi kekuatan pejuangan kemanusiaan dan kedamaian yang paling gigih, namun di sisi lain ia juga tidak jarang menjadi penyebab konflik yang paling ampuh bahkan mengobarkan peperangan antara sesame manusia. Tidak hanya dengan yang berbeda agama, fenomena wajah ganda itu juga terjadi di dalam intra umat beragama itu sendiri, Jose Casanova, “Public Religions Revisited,” dalam Hent de Varies (ed.), Religion: Beyond the Concept (New York: Fordham Universiti Press, 2008), hal. 101-102. Ia menambahkan, “To be sure, there is very little evidence of any kind of religious. But religion has certainly returned as a contentious issue to the public sphare of European societies.” Untuk karya lamanya yang berpengaruh, lihat, Jose Casanova, Public Religions in the Moderen World(Chicago: University of Chicago Press, 1994)
[5] Lihat, Karen Amstrong, The Battle for God: A History of Fundamentalism (New York: Alfred A. Knoft, 2001).
[6] Yang lain (others) di sini bentuknya bisa agama lain yang berbeda, pemahaman keagamaan yang berbeda, atau bisa fenomena social yang dianggap diri sendiri sebagai penyimpangan dan pengingkaran atas teks-teks Tuhan dalam Kitab Suci Agama. Fenomena amar ma’ruf nahi munkar versi FPI misalnya, pengeboman Gedung Federal Alfred P. Murrah di Okalahoma City yang menewaskan 168 korban, ekstrimis anti-aborsi Kristen yang membunuh para fisikawan dan perawat di fasilitas aborsi di Amerika; semuanya terinspirasi oleh teks-teks suci agama sebagai panggilan suci dengan pemahaman keagamaan yang tekstual. Lihat, Charles Selengut, Sacred Fury: Understanding Religious Violence (new York: Rowman & Littlefield Publisher, Inc, 2003), hlm. 5.
[7] Daniel L. Smith-Christoper (ed.,), Lebih tajam dari pedang; Refleksi Agama-agama tentang Paradoks Kekerasan. (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 18 terj. A. Widyamartaya dalam, Daniel L. Smith (ed.,) Subverting Hartred: The Challenge of Nonviolence in Religious Tradotions, Orbit Book, Maryknoll, Newyork, 1998.
Share this Article on :

0 komentar :

Posting Komentar

 

© Copyright Ceiist 2012 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Modified by Haris Media .