Kematangan Beragama
(Mature Religion)[1]
Abstract
“Manusia adalah mahluk dinamis, secara umum manusia melalui dua proses perkembangan yakni jasmani (fisik) dan rohani (spiritual), dimana perkembangan jasmani dapat diukur berdasarkan usia sebagai proses dimana puncak perkembangannya dinamakan “dewasa”, sedangkan perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas) dimana puncak perkembangannya disebut “kematangan” (maturity)”. kematangan beragama (mature religion) dapat dilihat dengan mengkategorikan model keberagamaan mulai dari anak-anak, remaja, dan matang dimana dalam keagamaan matang dicirikan dengan sikap krits, kreatif, dan otonom, namun keagamaan matang juga tidaklah berarti bebas dari ketergantungan sama sekali dan tidak juga berarti bahwa pandangan keagamaan kritis otomatis matang, namun refleksi dan kepercayaan diri pada seorang yang beragama matang telah ditemukan dalam ekspresi kehidupan beragamanya. Seorang yang beragama matang memperluas perhatiannya terhadap hal-hal di luar dirinya, di mana indikasi terabsahnya adalah doa. Doa seseorang menjadi kriteria penting apakah seseorang beragama matang atau sebaliknya, Keagamaan matang tidak puas semata-mata dengan rutinitas ritual dan verbalisasinya”
Keyword : Kematangan beragama, keagamaan matang, keberagamaan matang mature religion
A. Pendahuluan
Ajaran agama mengandung nilai moral dan perilaku yang melahirkan konsekuensi pada pemeluknya untuk mengamalkan nilai moral tersebut ke dalam perilaku keseharian. Namun tidak semua individu dapat melakukannya. Hanya individu yang memiliki kematangan beragamalah yang berpeluang untuk mewujudkannya. Salah satu ciri pribadi yang matang dalam kehidupan beragama ditandai dengan dimilikinya konsistensi antara nilai moral agama yang tertanam dalam diri individu dengan perilaku keseharian yang dimunculkan. Dalam bahasa yang sederhana dapat diungkapkan bahwa apabila individu matang dalam kehidupan beragamanya, maka individu tersebut akan konsisten dengan ajaran agamanya. Konsistensi ini akan membawa individu untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya. Lebih jauh, melalui kematangan dalam kehidupan beragama individu akan mampu untuk mengintegrasikan atau menyatukan ajaran agama dalam seluruh aspek kehidupan. Secara khusus, keberagamaan yang matang akan lebih mendorong seseorang/umat untuk berperilaku positif sesuai dengan ajaran agama dalam setiap sisi kehidupan.
Namun, orang dewasa yang berumur 45 tahun belum tentu memiliki kriteria keberagamaan yang matang, bahkan bisa jadi kepribadiannya masih immature atau tidak matang. Oleh karenanya, usia kronologis seseorang atau perkembangan jasmaninya belum tentu seiring-sejalan dengan perkembangan kepribadiannya (atau rohani) yang matang. Tidak sedikit orang yang sudah mencapai usia di atas 25 tahun, yang berarti telah dewasa menurut ukuran kronologis namun kehidupan keberagamaannya masih belum matang. Mereka masih beragama seperti anak-anak misalnya. Tidak sedikit pula remaja yang baru berusia 23 tahun ke bawah tetapi telah menunjukkan keberagamaan yang matang. [2]
Berdasarkan hal tersebut dalam makalah ini dibahas beberapa hal pokok terkait kematangan beragama (mature religion), diantaranya adalah model/type keberagamaan mulai dari anak, remaja, dan matang, pandangan para tokoh terkait kematangan beragama (mature religion), serta beberapa pertanyaan terkait kematangan beragama. Pembahasan/isi dalam makalah ini sebagian besar disarikan dari buku Walter H. Clark, The Psychology of Religion: An Introduction to Religious and Behavior, bab: Mature Religion, kecuali beberapa penjelasan dikutip dari sumber lain sebagaimana dapat dilihat dari catatan kaki (footnote)-nya.
Selengkapnya dapat diakses di : In Progres...
0 komentar :
Posting Komentar